Alergi merupakan suatu kelainan sebagai
reaksi imun tubuh yang tidak di harapkan.(1) Istilah alergi
dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya
mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi
pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.
Dewasa ini alergi diartikan sebagai reaksi imunologik terhadap antigen secara
tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah
tersensitisasi dengan antigen bersangkutan.(2)
Penyakit alergi merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering didapatkan dalam praktek sehari-hari.(3) dalam 20 – 30
tahun terakhir telah terjadi peningkatan dalam angka kejadian alergi, bahkan di
negara berkembang alergi atopik dapat dijumpai pada 20 % populasi yang mencakup
berbagai kelainan yang dikaitkan dengan IgE, misalnya asma, rhinitis alergi,
dermatitis atopik, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi alergi
di duga disebabkan berbagai faktor, diantaranya perubahan gaya hidup, misalnya
penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam rumah disertai ventilasi yang
kurang, penggunaan antibiotik spektrum luas , infeksi virus, diet dan
lain-lain.(2)
Sejak awal tahun dari abad terakhir,
sebelum penyebab dari reaksi alergi di temukan, tehnik in vivo termasuk conjunctival
instillation dan
tes kulit, telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dari reaksi
alergi.(4)Hingga saat ini sudah banyak perkembangan dalam metode
laboratorium untuk menunjang diagnosis dan evaluasi penderita alergi. Sebagian
metode laboratorium lebih banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita
alergi dan belum banyak digunakan untuk pelayanan laboratorium secara rutin.(2)
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti
penetapan jumlah eosinofil dan kadar IgE serum dapat menjadi pelengkap yang
berguna dalam menegaskan diagnosis gangguan alergi. Namun interprestasi dari
nilai eosionofil agak sulit karena eosinofil dipengaruhi oleh ekskresi
obat-obat tertentu seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu pengambilan,
dan tehnik peneraan, serta juga oleh kinetiknya.(1)
Tes alergi sering digunakan untuk
membedakan suatu penyakit yang disebabkan oleh alergi ataupun oleh sebab lain.
Dikenal beberapa metode pemeriksaan alergi diantaranya secara in vivo dan secara in vitro.(1,3,4,5,6)
II. REAKSI ALERGI
Reaksi alergi semula dibagi dalam 2
golongan berdasarkan kecepatan timbulnya reaksi, yaitu :
1. Tipe cepat (immediate
type, antibody mediated)
2. Tipe lambat (delayed
type, cell mediated)(7)
Sedangkan Combs dan Gell (1975) membagi
reaksi ini menjadi 4 jenis yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan
IV.(1,5,7)
Reaksi Tipe I
Pada paparan pertama, allergen masuk
sampai kedalam mukosa dan di tampilkan oleh sel B dan sel T. Respon imun yang
di dapat akan memproduksi proliferasi populasi sel yang spesifik terhadap
antigen dan membangun sel memori dan sel plasma. IgE spesifik untuk allergen
tersebut di bentuk dan berikatan dengan sel mast di dalam tubuh. Pada paparan
kedua allergen masuk kembali ke dalam mukosa dan melepas ikatan antara IgE dan
mast sel. Sehingga mast sel akan melepaskan mediator seperti heparin dan
histamin. Pengaktifan metabolisme asam arakidonat menghasilkan prostaglandin
dan leukotrien yang nantinya akan menimbulkan gejala.
Reaksi Tipe II
Pada paparan pertama alergen menginduksi
respon sel B dengan memproduksi antibodi. Pada paparan berikutnya antibodi
berikatan dengan permukaan sel untuk menampilkan alergen. Kemudian, sistem
komplemen lainnya diaktifkan dan sel menjadi lisis atau antibodi yang terbentuk
bertindak sebagai opsonin dan sel fagosit yang tertarik. Kerusakan jaringan
khusus, tergantung pada distribusi dari permukaan sel alergen. Belum jelas jika
reaksi tipe II terlibat dalam pembentukan gejala alergi.
Reaksi Tipe III
Pada paparan pertama, alergen
mempengaruhi respon dari sel B dengan memproduksi antibodi. Pada paparan kedua,
alergen beredar dalam sirkulasi darah berikatan dengan antibodi untuk membentuk
kompleks imun. Ketika jumlah antigen yang lebih besar tampak, kompleks imun
tadi menjadi banyak, besar dan irregular dan mereka tidak dapat disingkirkan
secara cepat oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks tadi berikatan dengan
endothelium dari pembuluh darah kecil dan membentuk respon inflamasi (edema, Infiltrat
selular) sampai komplemen menjadi aktif. Efek samping dari kerusakan jaringan
tergantung dari jumlah deposit dari kompleks tadi.
Reaksi Tipe IV hipersensitivitas tipe
lambat
Pada paparan pertama alergen merangsang
sel T. pada paparan kedua allergen ditemukan pada permukaan sel target.
Sebelumnya merangsang sel T kemudian sel target lisis dan respon inflamasi
terbentuk.(5)
III. INDIKASI
PEMERIKSAAN TES ALERGI(3,8)
Secara umum indikasi pemeriksaan alergi
pada seseorang berdasarkan kondisi yang dialami.
Tabel 1.
Indikasi untuk pemeriksaan tes alergi
Kondisi
|
Indikasi
|
Rhinitis
|
Gejala tidak dapat dikontrol dengan
pemberian medikamentosa dan diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis
alergen sehingga kemudian hari alergen dapat dihindari
|
Asma
|
Asma persisten pada pasien yang
terpapar alergen di dalam ruang
|
Dugaan alergi makanan
|
Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi
sistemik terhadap makanan
|
Dugaan alergi obat
|
Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi
sistemik terhadap obat dan indikasi klinis untuk obat yang diduga
|
Dugaan alergi gigitan binatang
|
Sebelumnya didapatkan dugaan reaksi
sistemik terhadap sengatan binatang
|
IV. PEMERIKSAAN
TES ALERGI
Pemeriksaan untuk diagnosis alergi
inhalan dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro untuk alergi terhadap
alergen yang spesifik. Tes ini diindikasikan tidak hanya pada pasien alergi
saja, namun juga pada terkena alergen yang spesifik. Tes pada inhalasi relatif
lebih sederhana, sejak mekanisme terjadinya diketahui (IgE – mediator reaksi
tipe I) dan reaksi alergi inhalasi bisa didapatkan dalam beberapa menit.
Bagaimanapun bisa didapatkan sebuah hasil yang positif walaupun tanpa gejala
klinik.(5)
A. METODE IN VIVO
Berbagai metode in vivo digunakan dalam
penelitian sistem immunoglobulin maupun sistem seluler.(1) tes
alergi secara in vivo terdiri atas dua kategori : uji kulit dan uji tantangan
pada organ (tes provokasi).(9) Uji
kulit merupakan cara in vivo utama dalam mengenali IgE atau antibodi reagenik.
Reaksi ini terjadi beberapa menit setelah masuknya alergen. Alergen
berinteraksi dengan antibodi reagenik yang melekat pada sel pelepas zat
mediator. Akibatnya terjadi suatu peradangan atau pembengkakan segera, demikian
pula suatu reaksi fase lambat. Pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan
suatu jarum atau garukan dan injeksi intradermal.(1)
1. Pemeriksaan
Tes Kulit
Uji kulit sampai saat ini masih dilakukan
secara luas untuk menunjang diagnosis alergi terhadap alergen-alergen tertentu.
Metode ini dapat dilakukan secara massal dalam waktu singkat dengan hasil cukup
baik. Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau
sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan
mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada
uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan
kemerahan (flare).(2,8) Tetapi
uji kulit tidak selalu memberikan hasil positif walaupun pemeriksaan dengan
cara lain berhasil positif, terutama alergi terhadap obat.(2)
Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk
menentukan macam alergen sehingga dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi.(8)
Macam tes kulit untuk mediagnosis alergi
antara lain :
Ø Puncture,
prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
allergen inhalan, makanan atau bisa serangga.
Ø Tes
intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga.
Ø Patch test
(epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak.(8,10)
a. Scracth
: Epicutaneus Tes
Ini merupakan tehnik yang paling awal
ditemukan oleh Charles Blackley pada tahun 1873. Pemeriksaan ini didasari
dengan membuat laserasi superficial kecil dari 2 mm pada kulit pasien dan
diikuti dengan menjatuhkan antigen konsentrat.
Keuntungan :
o Aman, jarang
menyebabkan reaksi sistemik
o Terdapat
kekurangan pada reaksi kulit tipe lambat
o Konstrate yang
digunakan nilai ekonominya lebih baik dan mempunyai daya hidup yang lama.
Kerugian :
o Terjadi false
positif (akibat iritasi pada kulit dibandingkan dengan reaksi alergi)
o Lebih
menyakitkan
o Tidak reproducible sebagai
intradermal skin test
Karena kurang reproducibility dan
berbagai gambaran dibelakang, bentuk tes ini tidak direkomendasikan lagi
sebagai prosedur diagnostik pada Alergi panel dari AMA Council Of
Scientific Affairs.(5)
b. Prick
: Epicutaneus
Tehnik ini pertama kali dijelaskan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1926. Hal
ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke dalam kulit .
kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke dalam kulit
bagian superficial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini adalah dengan
menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata jarum yang bisa
digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan control positif
(histmin) dan kontrol negative (glyserin). (5)
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Keterangan :
a. Lengan
atas yang diteteskan zat allergen
b. Penetesan
allergen
c. Reaksi pada
pemeriksaan skin prick test(9)
Keuntungan :
o Cepat
o Mempunyai
korelasi yang baik dengan tes intradermal
o Relative lebih
aman
Kerugian :
o Hanya
memberikan penilaian kualitatif pada alergi
o Bisa terjadi
kesalahan pada keadaan alergi yang lemah (false – negatif)
o Grade pada
kulit bersifat subjektif
Prick tes merupakan jalan cepat untuk
menyeleksi antigen yang banyak. Jika skin tes positif, kemudian pasien lebih
sering alergi, tetapi konversi yang didapat tidak benar. Jika pasien mempunyai
sejarah yang positif dan negative pada prick test, maka dokter harus
menggabungkan prosedur dengan pemeriksaan tes intradermal.(5)
Kontraindikasi Skin Prick Test(8,11)
Ø Penderita
dengan riwayat yang meyakinkan adanya reaksi anafilaksis terhadap allergen.
Ø Penderita
dengan gejala alergi terhadap makanan sampai dengan gejala yang timbul stabil.
Ø Penderita
dengan penyakit kulit misalnya urtikaria, SLE dan lesi yang luas pada
kulit.
Persiapan tes cukit (Skin Prick
Test)
Sebagai dokter pemeriksa kita perlu
menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien, gejala dan tanda yang ada yang
membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini terkait
secara genetik dan bisa membedakan apakah justru penyakit non alergi, misalnya
infeksi atau kelainan anatomis atau penyakit lain yang gambarannya menyerupai
alergi.(8)
Persiapan yang harus dilakukan antara
lain(3,8,11) :
1. Persiapan
bahan/material ekstrak alergen :
Ø Gunakan
material yang belum kadaluwarsa
Ø Gunakan
esktrak alergen yang terstandarisasi
2. Persiapan
penderita :
Ø Menghentikan
pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes(11) atau 5 – 7 hari
sebelum tes.(8)
Ø Menghentikan
pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant, stabilizer sel mast,
ranitidine, anti muntah atau beta bloker, antihistamin topical, cream
imunomodulator, dan topical steroid minimal 7 hari sebelum tes. Steroid oral
dan obat inhalasi untuk asma tidak perlu dihentikan.
Ø Usia : Pada
bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi, walaupun sebenarnya
tes ini tidak mempunyai batasan umur.
Ø Pada penderita
dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga terjadi
penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.
3. Persiapan
pemeriksa :
Ø Tehnik dan
keterampilan pemeriksa perlu dipersiapkan agar tidak terjadi interprestasi yang
salah akibat tehnik dan pengertian yang kurang dipahami oleh pemeriksa.
Ø Keterampilan
tehnik melakukan cukit
Ø Tehnik
menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat yang reaktivitas tinggi dan ada
yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai rendah :
bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi
ulnar > sisi radial > pergelangan tangan.
Prosedur Tes Cukit(4,8,11)
Sebelum melakukan tes cukit pada
penderita dilakukan terlebih dahulu inform consent. Pada penderita dewasa yang
telah mengerti dapat dijelaskan secara langsung prosedur pemeriksaan dan apa
yang akan mereka rasakan. Sedangkan pada penderita yang masih kecil maka
diberikan penjelasan kepada orang tua mereka.
Tes cukit sering kali dilakukan pada bagian
volar lengan bawah. Pertama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar
dan ditandai area yang akan ditetesi dengan ekstrak allergen. Tanda yang
diberikan mempunyai jarak antara satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm. Ekstrak
allergen diteteskan satu tetes larutan allergen (histamine/control positif) dan
larutan kontrol (buffer/control negative) menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau
27 G atau blood lancet.
Kemudian dicukitkan dengan sudut
kemiringan 45 0 menembus
lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan
perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes
dibaca setelah 15 – 20 menit dengan menilai bentol yang timbul.
A
B
|
|||
Gambar 2. Keterangan :
A. Sudut
melakukan cukit pada kulit dengan lancet
B. Contoh reaksi
hasil positif pada tes cukit
Interprestasi tes cukit(4,8)
Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The
Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of
Allergology dengan
membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin
dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut :
- Bentol
histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan
kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol +
(+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol
histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang
ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++ (+4).
Di Amerika cara
menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono
sebagai berikut :
- 0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol
(-)
- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-)
disertai eritema.
Kesalahan yan sering terjadi pada Skin
Prick Test(8)
a. Tes dilakukan pada
jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
b. Terjadi perdarahan,
yang memungkinkan terjadi false positive.
c. Teknik cukitan yang
kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.
d. Menguap dan
memudarnya larutan alergen selama tes.
Kelebihan Skin Prick Test Dibandingkan
dengan Tes Kulit yang lain(8):
1. karena zat
pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air.
2. Mudah dilaksanakan
dan bisa diulang bila perlu.
3. Tidak terlalu sakit
dibandingkan suntikan intradermal
4. Resiko terjadinya
alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat kecil.
5. Pada pasien yang
memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan kurang dari
1 jam.
c. Intradermal
test
Tes intradermal atau tes intrakutan
secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan sensitivitas merupakan
tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika skin prick test memberikan hasil
negatif walaupun mempunyai riwayat yang cocok terhadap paparan). Tes
intradermal lebih sensitive namun kurang spesifik dibandingkan dengan skin
prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi lebih baik daripada uji
kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas terhadap Hymenoptera (gigitan
serangga) dan penisilin atau alergen dengan potensi yang rendah.(3,9,)
Robert Cooke memberikan gambaran pertama
kali untuk tes intradermal pada tahun 1915. Tehnik pemeriksaannya mengalami
beberapa modifikasi sejak saat itu. Pada saat ini prosedur tes intradermal
digambarkan dengan menggunakan jarum 26 G untuk menyuntikkan secara intradermal
sebagian dari antigen, berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01 – 0,05
ml. batasan dari konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test di
nilai setelah 10 – 15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca setelah 24 –
48 jam.(10) Eritem
dan bentol merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif adalah 0 - +4.(5,12)
Gambar 3. Intradermal skin test
Keuntungan :
Ø Lebih
sensitive (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
Ø Lebih reproducible dalam satu
tempat
Kerugian :
Ø Lebih bersifat
kualitatif daripada kuantitatif
Ø Tingkat dalam
respon lebih bersifat subjektif
Ø Tidak ada
standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
Ø Mungkin dapat
muncul reaksi positif palsu pada sensitivitas tinggi
Tes intradermal merupakan tes yang baik,
sensitive dan lebihreproducible. Keakuratan lebih jelas didapatkan pada
percobaan dengan berbagai macam dilusi dari ekstrak allergen. Tetapi mempunyai
kekurangan dalam standarisasi protokol tes.(5)
d. Pacth
Test
Tes pacth merupakan metode yang digunakan
untuk mendeteksi zat yang memberikan alergi jika terjadi kontak langsung
dengan kulit. Metode ini sering digunakan oleh para ahli kulit untuk
mendiagnosa dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana
reaksi yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2 – 3 hari.(9,10,13)
Pemeriksaan pacth tes biasa dilakukan
jika pemeriksaan dengan menggunakan skin prick tes memberikan hasil yang
negative.(10)Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150
material yang dimasukkan ke dalam kamar plastic atau aluminium dan di letakkan
di belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-tempat
yang akan ditempelkan bahan allergen tersebut. Setelah ditempelkan, kemudian
dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda reaksi
alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.(10,14)
A
B
Gambar 4. Keterangan :
A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium
B. Logam aluminium di tempelkan di punggung
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa
berupa :
Ø Negatif (-)
Ø Reaksi iritasi
(IR)
Ø Meragukan/tidak
pasti (+/-)
Ø Positif lemah
(+)
Ø Positif kuar
(++)
Ø Reaksi yang
ekstrem (+++)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash,
follicular pustules dan
reaksi seperti terbakar. Reaksi yang meragukan berupa warna merah jambu dibawah
kamar tes. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit menonjol
atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesicle dan reaksi
ekstrem berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang relevan tergantung
dari jenis dermatitis dan allergen yang spesifik. Interprestasi dari hasil yang
didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.(14)
Gambar 5. Keterangan :
A & B Hasil positif dari tes tempel (Pacth Tes)
C. Reaksi ++
D. Reaksi +++
Yang harus dipersiapkan pada saat
melakukan pemeriksaan adalah :
Persiapan penderita
Ø Bagian
punggung tempat akan dilakukan pemeriksaan jangan terkena sinar matahari kurang
lebih 4 minggu sebelum pemeriksaan.
Ø Memakai baju
yang sudah tua ; tanda dari ujung pulpen dapat melumuri baju
Ø Jangan
berenang, menggaruk atau melakukan latihan, sebab tempelan bisa lepas.
Ø Biarkan
punggung tetap kering, jadi jangan mandi, jangan berkeringat jika tidak
dibutuhkan
Ø Hindari pemakaian
kosmetik, cream dan detergen untuk sementara waktu supaya tidak memberikan
hasil positif palsu.
Ø Menyuruh
seseorang untuk mengatakan jika ada perubahan pada tanda yang telah diberikan
dipunggung.(13,14)
Persiapan Bahan
Untuk mempersiapkan bahan yang akan
digunakan biasanya penderita mendiskusikan dulu dengan pemeriksa. Terkadang
penderita disuruh membawa bahan yang akan digunakan sendiri dari rumah.
Ø Bawa atau
kirim bahan yang akan dites paling lambat 1 minggu sebelum pertemuan pertama
dilakukan sehingga pemeriksa bisa mempersiapkan untuk tes jika dibutuhkan.
Ø Jumlah yang
dibutuhkan sedikit hanya beberapa tetes atau butir.
Ø Bahan
diberikan label dan nama dan buatlah lembaran daftar bahan jika memungkinkan.
Ø Identifikai
jenis makanan dan tumbuhan (jika relevan) kalau bisa beli yang masih segar
untuk pertemuan pertama; gunakan es untuk lebih membantu.
Ø Bawa kosmestik
yang telah diseleksi untuk dites (lebih dari 10 jenis) termasuk cat kuku,
pelembab, cream matahari, parfum, sampho. Sabun tidak biasa digunakan untuk tes
(karena biasa menyebabkan reaksi jika diletakkan di kulit untuk 2 hari)
Ø Bawa semua
ointment, cream dan lotion yang biasa digunakan baik yang diresepkan maupun
yang tidak diresepkan.
Ø Bagian dari
pakaian seperti sarung tangan karet dan kaus kaki untuk di tes: 1 cm dari bahan
tersebut perlu diambil.(14)
2. Pemeriksaan
Uji Provokasi Hidung (Nasal Provocation Test)
Tes ini merupakan cara menilai yang
paling baik untuk rhinitis alergi. Hanya ini metode yang digunakan dengan
menempatkan secara langsung allergen spesifik terhadap mukosa hidung. Metode
ini menimbulkan gejala utama atau tanda dari pasien dengan cara
mengontrol antigen yang diduga dapat menimbulkan alergi dengan aplikasi langsung
ke membrane mucous hidung. Dan evaluasi dari respon pasien di catat. Tehnik ini
meliputi aplikasi yang selektif atas solution allergen ke kepala turbin
inferior. Sebelumnya dilakukan rhinomanometri dan 20 menit setelah pemberian
allergen. Untuk mengkonfirmasi efek alergi dari zat yang dites dengan
menampakkan reduksi yang significant dari kemampuan hidung untuk pembengkakan
mukosa yang reaktif. Sejak tes provokasi meliputi penempatan allergen secara
langsung pada turbin, mungkin dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat atau
mungkin syok anafilaksis, dan sepantasnya alat emergency tersedia pada ruang
pemeriksaan.(6,15)
B. METODE IN
VITRO
Setelah sifat-Sifat IgE diketahui pada
tahun 1968, Maka dimungkinkan pembentukan antisera terhadap kelas immunoglobulin
ini. Hal ini membuka jalan untuk pelaksanaan peneraan imun.(1) Telah
ditemukan beberapa cara pemeriksaan in vitro terhadap alergi, yang pertama
sekali yaitu metode uji Radioalergosorbent (RAST) yang
kemudian mendapat modifikasi, Enzyme-linked
immunoassay(ELISA)(1,3,4) dan beberapa
metode baru yang terus ditemukan sesuai dengan perkembangan teknologi. Namun
pada penulisan ini hanya dibahas mengenai metode pemeriksaan RAST dan ELISA.
Indikasi untuk tes secara in vitro
Ø Pasien yang
tidak respon terhadap control lingkungan dan pengobatan konservatif.
Ø Kekhawatiran
pada bayi dan anak yang sensitive terhadap reaksi atopi
Ø Pasien yang
tidak mungkin diberhentikan pengobatan yang mungkin mempengaruhi pada
pemeriksaan uji kulit
Ø Pasien dengan
reaksi yang jelek pada imunoterapi
Ø Evaluasi
individu yang sensitive ketika diprakarsai imunoterapi pada pasien atopi.
Ø Pemindahan
pasien alergi pada imunoterapi
Ø Sensitive
terhadap racun
Ø Diagnosis
reaksi sensitive IgE pada makanan(5)
Kontra indikasi untuk tes secara invitro
Ø Pasien dengan
positif riwayat sensitivitas dimana dengan terapi non spesifik dapat efektif
untuk mengurangi gejala.
Ø Pasien atopi
yang asimtomatik terutama dalam imunoterapi
Ø Pasien dengan
gejala namun pada uji kulit negative
Ø Pasien dengan
total IgE level dibawah 10 U/ml
Ø Pasien dengan
diagnosis gangguan penghantar non IgE(5)
1. Metode RAST
Merupakan metode yang sering dipakai
dengan menggunakan allergen tidak larut ke dalam suatu cakram kertas selulosa
(alegosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas antibody lain) dari serum
selama masa inkubasi pertama. Fase padat terikat immunoglobulin kemudian dicuci
dan pada inkubasi kedua ditambahkan suatu anti IgE berlabel isotop I-125 (fc)
atau anti IgE berlabel enzim (fc). Setelah pencucian selanjutnya radioaktivitas
yang terikat IgE pada cakram kemudian dihitung, atau pada antibody yang
berlabel enzim, dilakukan suatu inkubasi substrat agar dihasilkan suatu produk
berwarna atau berfluoresensi. Radioaktivitas terikat cakram atau kuantitas
produk yang dihasilkan aktivitas enzim dihubungkan dengan IgE terikat cakram
memakai sumber serum rujukan dari specimen yang tidak diketahui
diinterpolasikan terhadap serum ini. Perlu ditekankan bahwa system penilaian
untuk semua proses ini belum sepenuhnya dikaitkan dengan gambaran klinis.
Secara umum nilai yang tinggi dapat ditemukan pada beberapa pasien non alergi
namun dapat pula tidak ditemukan pada individu alergi. Demikian pula nilai yang
rendah dapat ditemukan pada individu alergi seperti juga individu non alergi.
Seluruh hasil perhitungan harus diinterprestasikan dalam kaitannya dengan
anamnesis.(1,5)
Setelah dimodifikasi selama
bertahun-tahun, RAST orisinil kini telah dipasarkan untuk pengukuran IgE
spesifik dalam serum manusia. Hasil-hasil relative dari system yang lebih baru
ini masih belum dinilai. Pada dasarnya, kebanyakan system peneraan mempunyai system
yang serupa dengan RAST.(1)
Bermacam-macam modifikasi tehnik
radioimmumoassay (RIA) telah dikembangkan untuk menyederhanakan dan memudahkan
penggunaannya serta meningkatkan sensitivitas maupun spesifitas. Dalam garis
besar ada 2 macam metode, yaitu metode yang berdasarkan reaksi antigen antibody
dalam larutan (liquid fase) dan yang berdasarkan reaksi antigen antibody
pada benda padat atau partikel (solid phase). Pada umumnya tehnik RIA
dalam larutan menggunakan prinsip kompetitif, yaitu mereaksikan antigen (Ag)
yang tidak dilabel dan terdapat dalam specimen, bersama Ag yang dilabel125I
(Ag*) dengan antibody (Ab) spesifik, sehingga Ag berlabel (Ag*) dan Ag dalam
specimen akan berkompetisi untuk mengikat Ab membentuk kompleks Ag*-Ab-Ag.
Apabila kadar Ag* sebelum reaksi diketahui, maka sisa Ag* yang tidak bereaksi
atau yang terikat pada kompleks dapat diukur radioaktivitasnya dan hasilnya
merupakan parameter kadar Ag dalam specimen. Di samping tehnik kompetitif, ada
juga tehnik non kompetitif dengan cara melekatkan Ag atau Ab pada suatu
partikel kemudian mereaksikannya dengan specimen yang diuji. Apabila yang diuji
adalah antigen, maka partikel dilapisi dengan Ab spesifik, kemudian direaksikan
dengan specimen. Setelah itu ditambahkan Ab berlabel 125I
(Ab*), kemudian kompleks Ab-Ag-Ab* dipisahkan dan diukur radioaktivitasnya.
Banyaknya Ab* yang terikat merupakan ukuran untuk kadar Ag dalam specimen.
Tehnik ini disebut tehnik sandwich dan merupakan
tehnik yang banyak digunakan. Suatu modifikasi tehnik sandwich adalah setelah
specimen direaksikan dengan partikel berlapis Ab, ditambahkan Ab spesifik yang
tidak berlabel, baru kemudian dibubuhkan anti – Ig universal berlabel 125I
(anti – Ig*).(2)
2. Metode Elisa (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay)
Prinsip tehnik ELISA sama dengan tehnik
RIA, hanya saja pada tehnik ELISA indicator (label) yang digunakan adalah enzim
dan bukan radioisotope. Kelebihan tehnik ELISA adalah : cukup sensitive, reagen
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan reagen RIA, dapat
menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan automatisasi, dan yang
paling penting adalah tidak mengandung bahaya radioaktif. Seperti halnya pada
tehnik RIA, pada tehnik ELISA juga dikenal metode kompetitif dan non
kompetitif. Apabila Ab digunakan untuk melapisi partikel maka metode ini sering
disebutcapture, karena antigen dalam specimen seolah ditangkap oleh
matriks yang dilapisi Ab. Fase solid atau partikel yang dapat digunakan
bermacam-macam, diantaranya plastic, nitroselulosa, agarose, gelas,
polyacrylamida, dan dekstran.
Bergantung pada apa yang ingin diuji,
pada tehnik ELISA harus ada antibody atau antigen yang dikonjugasikan dengan
enzim dan substrat yang sesuai. Enzim yang paling disukai untuk digunakan
adalah fosfatase alkali (AP) dan horseradish
peroxidase (HRP)
sedangkan substrat yang paling sering digunakan adalah o-phenylenediamine(OPD),
dan tetramethylbenzidine (TMB).
Substrat para-nitrophenylphospate (pNPP) dapat
dipilih apabila enzim yang digunakan adalah fosfatase alkali. Hidrolisis
substrat oleh enzim biasanya berlangsung dalam waktu tertentu dan reaksi
dihentikan dengan membubuhkan asam atau basa kuat. Karena banyaknya antibody
berlabel enzim (AbE) yang terikat pada kompleks Ag - AbEsesuai
dengan kadar Ag dalam specimen, maka banyaknya enzim yang terikat pada kompleks
dan intensitas warna yang timbul setelah substrat dihidrolisis oleh enzim yang
terikat pada kompleks Ag - AbEmerupakan untuk kadar Ag yang diuji.(2)
Keuntungan tes secara in vitro
- Mengurangi
variabilitas dari respon kulit
- Mengurangi
efek dari obat
- Dapat selesai
dalam satu tes darah; mengurangi tes kulit yang lama
- Lebih spesifik
daripada tes uji kulit
- Menyediakan
penilaian kuantitatif dari alergi sehingga dapat digunakan sebagai dasar
menetapkan dosis awal imunoterapi
- Aman pada
pasien dengan penggunaan beta bloker
Kekurangan tes secara invitro
- Lebih mahal
dalam biaya
- Dibutuhkan
alat laboratorium khusus dan pelatihan terhadap tehnisi
- Kurang
sensitif dibandingkan dengan tes uji kulit.
KESIMPULAN
Ø Istilah alergi
dikemukan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya
mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti yang terjadi
pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit.
Ø Penyakit alergi
umum didapatkan dalam praktek sehari-hari, dan akhir-akhir ini telah terjadi
peningkatan dalam angka kejadian alergi.
Ø Diperlukan
metode yang baik dalam mendeteksi alergi dan dikenal dua jenis pemeriksaan
yaitu secara in vivo dan secara invitro
Ø Pemeriksaan
secara in vivo terdiri dari uji kulit (scratch test, skin prick test,
intradermal test, dan patch test) dan uji provokasi.
Ø Sedangkan
secara in vitro banyak jenis metode yang telah dikembangkan namun yang sering
digunakan adalah metode RAST (RIA) dengan menggunakan radioisotope dan metode
ELISA yang menggunakan enzim.
Ø Pemeriksaan
secara in vivo lebih sensitive daripada secara invitro.
DAFTAR PUSTAKA
1. Malcolm N.
Blumenthal, M.D, Kelainan Alergi Pada Pasien THT dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
THT BOIES, Edisi 6, Cetakan ke – 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1997. Hal : 190 – 199
2. Siti Boedina
Kresno, Penyakit Alergi dalam IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium,
Edisi Keempat, Cetakan ke – 3 Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, Hal : 315 – 338.
3. James T.Lim
MD, PH.D Allergy Testing dalam Journal American Family Physician, volume 66,
nomor 4, Mayo Clinic and Foundation, Rochester, Minnesota, 15 Agustus, 2002.
Hal : 621 – 624. www.aafp.org/afp
4. Richard M.
O’Brien, Abnormal Laboratory Result Skin Prick Testing and In Vitro Assays for
Allergic Sensitivity, dalam Australian Prescriber, volume 25, nomor 4, 2002.
5. K.J.LEE, MD,
FACS, Immunology dan Allergy in Essential Oto laryngology Head and Neck
Surgery, Eight Edition in International Edition, Medical Publishing Division
McGraw-Hill company, Inc. 2003. Page : 273 - 301
6. Rudolf Probst,
Gerhard Grevers and Heinrich Iro, Special Rhinologic Test in Basic
otorhinolaryngology.
7. Sujudi,
Suharto, A. Soebandrio, Hipersensitivitas dalam BUKU AJAR MIKROBIOLOGI
KEDOKTERAN, Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994
0 comments
Post a Comment