Saturday, May 10, 2014

HIPERTIROID

BAB 1
LATAR BELAKANG
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus 2.5%) (Djokomoeljanto, 2010).
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5% karena toxic nodular goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi terutama tergantung pada intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun, namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci,et al., 2008).
Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang meningkat, tetapi dalam persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang meningkat, disebut sebagai tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan defisiensi yodium). Status tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukuan sel atas hormon tiroid dan bukan kadar ‘normal’ hormone tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolism sel didasarkan atas tersedianya free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III di berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1 yang dapat dihambat oleh PTU (Djokomoeljanto, 2010).
Tujuan dari pembuatan responsi ini adalah memberikan suatu informasi baru tentang epidemiologi, perjalanan penyakit, diagnosis,dan terapi yang dapat diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme. Responsi ini akan sangat berguna terutama kepada mahasiswa kedokteran karena dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hipertiroidisme. Di samping itu, responsi ini juga bertujuan membandingkan kesesuaian diagnosis, terapi, dan prognosis pasien hipertroidisme antara sumber-sumber ilmiah yang ada dengan kenyataan pada pasien.
BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang wanita usia 46 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas yang dirasakan secara tiba-tiba sekitar 4-5 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas diawali dengan batuk sebelumnya. Sesak nafas dirasakan tidak membaik ketika beristirahat. Sebelumnya tidak pernah merasakan hal yang sama. Kebiasaan tidur dengan satu buah bantal.
Selain itu pasien juga merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada dada sebelah kanan ketika dibuat bernafas, tidak menjalar dan dirasakan semakin memberat jika dibuat bernafas atau berubah posisi.
Batuk dirasakan sekitar 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuknya pada hari pertama tidak mengeluarkan dahak. Pasien mengeluh demam kurang lebih 7hari sebelum dan selama batuk. Dan satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengatakan bahwa ia batuk dengan dahak berwarna putih dan ada sebercak darah yang keluar bersamaan dengan dahaknya.
Pasien mengeluh sesak napas sebelumnya tetapi tidak seberat yang dirasakannya saat ini. Sesak napasnya dirasakan ketika pasien berjalan sekitar 200 meter, dan ketika pasien berjalan ke ketinggian (seperti menaiki anak tangga). Pasien sering tidur menggunakan 1 bantal. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari gara-gara sesak.
Selain itu, pasien juga sering merasa berdebar-debar tanpa didahului perasaan yang tidak enak atau sebagainya. Pasien juga sering berkeringat walau tidak berada dibawah sinar matahari maupun saat bekerja (saat beristirehat). Jika diminta untuk memilih antara suhu panas dan dingi pasien lebih memilih suhu yang dingin kerna merasa lebih nyaman. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sedangkan nafsu makan meningkat dan pasien sering merasakan perasaan mahu makan dan kelaparan. Celana milik pasien dirasakan semakin longgar. Namun demikian sejak akhir-akhir ini pasien tidak nafsu makan dan makan lebih sedikit.pasien juga sering merasa lemas badan dan sedikit gemetar di daerah jari kedua tangan. Pasien juga mengeluhkan merasa sangat mudah lelah walau hanya melakukan aktivitas yang sangat sederhana dan ringan. Saat ini pasien sudah tidak menstruasi lagi.
Pasien bekerja sebagai buruh tani dan tinggal di daerah pegunungan. Pasien memiliki kebiasaan memasak menggunakan kayu bakar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, sesak dan agitasi, GCS 456, berat badan 45 kg dan tinggi badan 150 cm, suhu aksila 38c, BMI 19.5 kg/m2, tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 122x/menit reguler, kuat, pernafasan 30x/menit, susu aksila 38ºc. Pada daerah leher didapatkan pembesaran kelenjar tiroid dengan ukuran 3x2x5cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak menempel dengan jaringan sekitar (dapat digerakan), dan tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di sekitar benjolan. Selain itu, pada pasien ini juga didapatkan tremor halus.
Dari pemeriksaan hasil laboratorium didapatkan leukositosis (11,600), peningkatan Total T3(ng/mL2.56), Free T4 (5.00ng/dL) dan penurunan hasil TSH (0.018µIU/mL). Berdasarkan EKG didapatkan sinus Takikardia. Dari hasil USG tiroid didapatkan struma difusa hipervaskular tiroid bilateral sesuai gambaran Grave`s Disease dan kalsifikasi pole bawah Dextra manakala dari hasil patologi anatomi dapat disimpulkan tidak ada sel ganas dan kemungkinan suatu colloid goiter dengan fibrosis.
Dari hasil kultur sputum pada tanggal 22 September 2011 didapatkan bakteri kokus gram positif, mikobakterium basil tahan asam negative, KOH negatif, dan kultur kuman staphylococcus coagulase yang negative dengan uji sensitiitasf kuat terhadap tetrasiklin, doxycycline, vancomycin dan amikacin.
Pasien kemudian di rawat inap di RSSA selama 20 hari dari tanggal 18 September 2011 sampai dengan 7 Oktober 2011.
BAB 3
PEMBAHASAN
Hipertiroid ialah suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus 2.5%) (Djokomoeljanto, 2010).
Anamnesa pada pasien dengan hipertiroidisme meliputi tanda dan gejala yang dirasakan pasien. Antara gejala yang biasa dirasakan pasien adalah penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, hal ini dikarenakan terjadinya penigkatan kadar metabolic dalam badan. Hal ini terjadi meskipun pasien juga mengeluhkan bahwa nafsu makan semakin meningkat. Walaubagaimanapun pada hamper 5% kasus, pasien turut merasakan adanya peningkatan berat badan atas sebab nafsu makan yang meningkat itu tadi (Harrison, 2004). Pada pasien ini didapatkan penurunan berat badan yang tidak ada penyebabnya. Selain itu, jika diminta untuk memilih antara suhu panas dan dingi pasien lebih memilih suhu yang dingin kerna merasa lebih nyaman.
Kulit pada pasien dengan hipertiroid juga sentiasa basah akibat keringat yang berlebihan dan pasien merupakan orang yang tidak toleransi terhadap suhu tinggi. Peristaltic lambung juga meningkat sehingga mengakibatkan terjadinya diare dan steatorrhea yang ringan. Pada pasien wanita, sering juga dilaporkan kejadian oligomenorrhea maupun amenorrhea, manakala pada laki-laki mungkin mengeluhkan hal seperti penurunan fungsi seksual dan jarang sekali masalah gynecomastia (Harrison, 2004). Pada pasien ini didapatkan kulit yang sentiasa berkeringat walaupun tidak berada di bawah cahaya matahari maupun saat beraktifitas dan telah berhenti menstruasi pada usia yang lebih awal dari seharusnya.
Selain itu, pasien juga akan mengeluhkan perasaan seperti palpitasi. Hal ini merupakan manifestasi gangguan pada system kardiovaskuler atas akibat sinus takikardi (supraventrikular takikaria). Cardiac output yang meningkat mengakibatkan terjadinya nadi yang kuat, memanjang, dan aortic murmur dan dapat mengakibatkan angina maupun gagal jantung yang sudah terdeteksi sebelumnya menjadi lebih parah. Pada pasien ini didapatkan perasaan sentiasa berdebar-debar tanpa didahului perasaan yang tidak enak atau lainnya (Harrison, 2004).
Manifestasi klinis yang menonjol lain antaranya adalah hiperaktivitas, mudah lelah, kurang daya tumpuan dan juga tremor. Tremor dapat dideteksi dengan mudah yaitu dengan meminta pasien untuk menegangkan jari-jari tangan dan tremor dirasakan sendiri oleh pemeriksa dengan telapak tanagan. Kelainan neurologic yang dapat menyertai hipertiroidisme adalah hiperreflexia, atropi otot, miopati proximal tanpa adanya fascikulasi. Hipokalemia juga turut menyertai masalah hipertiroidisme yang dimanifestasikan dalam bentuk periodic paralisis dan biasanya terjadi pada kebanyakkan priya asia. Pada pasien ini didapatkan tremor halus dan perasaan mudah merasa lelah walaupun dengan aktivitas yang sangat sederhana dan ringan (Harrison, 2004).
Selain itu dalam menegakkan diagnosa hipertiroid, penggunaan Indeks Wayne mungkin dapat digunakan. Indeks Wayne sendiri merupakan suatu checklist yang berisi ada atau tidaknya gejala-gejala, seperti palpitasi, mudah lelah, berat badan turun, dan lain-lain, dengan skor tersendiri untuk masing-masing gejala. Seorang pasien didiagnosis menderita hipertiroid apabila skor Inseks Wayne lebih dari 19. Di bawah ini telah dilampirkan Indeks Wayne (Harrison, 2004).
Wayne Index
Objective
a) Tirod teraba 3
b) Bruit -2
c) Exopthalmus 0
d) Lid retraction 0
e) Lid lag 0
f) Hiperkinesia 0
g) Tangan panas 2
h) Tangan berkeringat 0
i) Tremor 0
j) Tremor halus 1
k) Atrial fibrilasi 0
l) Nadi <80 0
m) Nadi 80-90 0
n) Nadi >90 3
Subjective
a) Dypsneu de effort 1
b) Palpitasi 1
c) Cepat lelah 2
d) Suka panas 0
e) Suka dingin 5
f) Banyak berkeringat 0
g) Nervous 2
h) Nafsu makan meningkat/menurun 3
i) Berat badan meningkat/menurun 3
Total score : 25 (hyperthyroid)
Pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnose hipertiroid tidak hanya sekedar menilai kelenjar tiroid, tetapi harus juga dicari tanda-tanda yang dapat muncul akibat kelainan fungsi tiroid dan manifestasi extrathyroidal seperti adanya kelainan opthalmopathy dan dermopathy (Harrison, 2004).
Pemeriksaan fisik dapat dimulai dengan pemriksaan pada bagian kepala dan leher. Pmeriksaan diawali dengan melakukan inspeksi pada kelenjar tiroid pada leher bagian depan dan samping dengan posisi pasien duduk. Setiap bekas luka, massa, dan distensi vena yang terlihat haruslah dicatat. Setelah itu, dilakukan palpasi pada kelenjar tirod dengan meminta pasien untuk memfleksikan leher supaya otot di leher agak menegndur kelenjar tiroid dapat dipalpasi dari hadapan pasien maupun dari belakang pasien, dengan menggunakan kedua jempul untuk mengpalpasi lobus pada kelenjar tiroid. Apabila nodul masih kecil adalah lebih baik seandainya kelenjar tiroid di palpasi dari kedua arah. Saat melakukan palpasi, haruslah dimulai dengan mencari kartilago krikoid terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan meraba isthmus, dan agak ke lateral untuk meraba kedua again dari lobus (biasanya lobus pada bagian dextra sedikit lebih besar berbanding lobus sinistra). Lalu pasien diminta untuk menelan air, untuk menilai adakah kelenjar tiroid akan ikut bergerak seiring dengan pergerakan menelan itu tadi (Harrison, 2004).
Antara hal yang harus dicatat saat melakukan palpasi kelenjar tiroid adalah ukuran, konsistensi, nodul, mobilitas dan fiksasi. Pada keadaan normal, biasanya ukuran tiroid dapat mencapai 12-20g dan hasil dari palpasi dapat dipindahkan kedalam bentuk gambaran secara kasar. Walaubagaimanapun, pemeriksaan USG menjadi pemeriksaan yang harus dilakukan dalam memastikan ukuran kelenjar tiroid yang membesar dengan lebih tepat. Auskultasi dilakukan dengan tujuan mencari adanya bunyi bruit disekitar kelenjar tiroid yang membesar dan hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan vaskularisasi seperti yang terjadi pada kasus hipertiroidisme. Apabila batas bawah lobus tiroid tidak dapat teraba dengan jelas, pembesaran yang terjadi berada pada bagian retrosternal. Pembesaran kelenjar tiroid pada bagian retrosternal dapat menyebabkan distensi vena sehingga menyebabkan kesukaran bernafas, terutama apabila tangan di angkat ke atas (Pemberton`s sign). Selain itu, massa apapun yang membesar diatas kelenjar tiroid akan mengakibatkan lidah terangkat. Pemeriksaan limadenopati pada bagian supraklavikular dan servikal di leher harus dilakukan juga. Dalam laporan kasus didapatkan pembesaran kelenjar tiroid dengan ukuran 3x2x5cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak menempel dengan jaringan sekitar (dapat digerakan), dan tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di sekitar benjolan (Harrison, 2004).
Oleh karenasifatTSH yang sangat sensitive dan spesifik dalam rangka mendeteksi jumlahnya dalam darah, maka TSH dapat digunakan sebagai marker dalam mendeteksi fungsi hormone tiroid. Selain itu, kadar TSH juga berespon secara dinamik apabila adanya perubahan terhadap kadar T4 dan T3. Oleh sebab itu, kadar TSH menjadi marker utama dalam rangka menentukan nilai hormone tiroid yang berkurang, normal, maupun meningkat (Harrison, 2004).
Penemuan tentang nilai TSH yang abnormal haruslah diikuti dengan pengukuran nilai hormone tiroid dalam darah bagi memastikan lagi diagnosis hipertiroidisme (TSH yang rendah) dan hipotiroidisme (TSH yang tinggi). Pemeriksaan dengan menggunakan radioimmunoassay dapat dilakukan bagi mendeteksi kadar T3 dan T4 darah. T3 dan T4 berikatan dengan protein dan terdapat banyak factor yang dapat mempengaruhi kadar hormone tersebut (penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit tertentu serta factor genetik). Oleh itu, adalah perlu untuk mengukur nilai hormone tersebut dalam kondisi bebas atau tanpa terikat oleh protein (Harrison, 2004).
Kadar hormone tiroid dapat meningkat apabila kadar TBG meningkat terutama dalam kondisi kadar estrogen yang meningkat(kehamilan, kontraseptif oral, terapi hormone replacement, tamoxifen). Juga, dapat berkurang dalam kondisi seperti androgen tinggi dan sindroma nefrotik. Masalah genetic dan acute illness juga dapat mempengaruhi kadar hormone tiroid yang berikatan dengan protein dalam darah. Oleh karena hanya hormone tiroid yang bebas berikatan terdeteksi normal dalam kondisi-kondisi seperti diatas, adalah disarankan untuk melakukan pemeriksaan hormone tiroid bebas berikatan dalam rangka menilai kadar hormone tiroid. Pada pasien ini, didapatkan peningkatan Total T3(ng/mL2.56), Free T4 (5.00ng/dL) dan penurunan hasil TSH (0.018µIU/mL) (Harrison, 2004).
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan dalam rangka tujuan membantu dalam penegakan diagnosis penyakit tiroid noduler, sebagai akibat melengkapi kekurangan pada pemeriksaan fisik dan memperbaiki tehnologi ultrasonografi. Dengan menggunakan instrument 10MHz, resolusi yang optimum serta qualitas foto yang baik, nodul dan kista yang berukuran 3mm dapat dideteksi oleh USG tersebut. Selain sebagai alat mendeteksi nodule, USG juga dapat digunakan sebagai alat bagi memonitor perkembangan ukuran nodule, mengarah biopsy FNAB, serta membantu dalam melakukan aspirasi lesi kistik. USG juga dapat membantu dalam mengevaluasi adnya rekuren dari kanker tiroid, termasuk derajat metastases sel-sel ganas melalui kelenjar getah bening di servikal (Harrison, 2004). Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan USG Tiroid didapatkan struma difusa hipervaskular tiroid bilateral sesuai gambaran Grave`s Disease dan kalsifikasi pole bawah Dextra.
Hipertiroidisme diterapi dengan prinsip utama yaiutu menurunkan kadar sintesis hormone tiroid, dengan menggunakan obat anti-tiroid, radioiodine, atau dengan tehnik operasi kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid banyak di gunakan di Negara seperti Eropah dan Jepang, manakala radioiodine banyak digunakan di Negara amerika selatan. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat mengatasi hipertiroid secara optimal dan pasien mugkin memerlikan multiple terapi dalam mencapai remisi (Harrison, 2004).
Obat anti-tiroid yang sering digunakan adalah dari golongan thionamides, seperti prophylthiouracil (PTU), carbimazole, dan methimazole yang merupakansejenis metabolit yang aktif. Obat-obat tersebut bekerja dengan menghambat fungsi TPO, megurangi oksidasi dan organifikasi iodida. Obat-obat ini juga derajat aktifitas tiroid dengan mekanisme yang masih belum jelas namun dapat meningkatkan kadar remisi. PTU bekerja dengan menghambat deiodinasi T3 dan T4. Walaubagaimnapun, efek obat tersebut hanya memberikan keuntungan yang kecil sekali, melainkan pada kasus seperti tiroitoksikosis, dimana PTU mempunyai paruh hidup yang sangat singkat (90menit) berbanding metrhimazole (6jam) (Harrison, 2004).
Terdapat banyak variasi obat anti-tiroid. Dosis inisial carbimazole atau methimazole biasanya antara 10-20 mg tiap 8- 12 jam, dan setelah mencapai kadar eutiroid, obat dapat diambil dalam kurun waktu tiap 24jam sekali makan. PTU diberikan dengan dosis 100-200mg tiap 6-8jam, dan dilakukan tapering off pada setiap pemberian terapi PTU. Dosis inisial dapat dikurangi apabila hipertiroidisme terbukti berkurang. Obat dengan dosis yang sangat tinggi harus dikombinasikan dengan levotiroxin bagi menghindari terjadinya hipotiroidisme kerna pemberian obat (Harrison, 2004).
Fungsi tiroid dan manifestasi klinis harus diperiksa setelah 3-4 minggu pemberian obat dan dosis awala dilakukan titrasi berdasarkan kadar unbound T4. Kebanyakan pasien tidak mencapai eutiroid setelah 6-8minggu pemberian obat anti tiroid. Kadar TSH masih berkurang dalam jangka waktu beberapa bulan dan oleh karena itu, tidak menunjukan index terapi yang memuaskan. Biasanya, titrasi yang dilakukan pada obat anti-tiroid adalah sebanyak 2.5-10mg (carbimazole atau methimazole) dan 50-1oomg (PTU). Kadar remisi yang maximal ditemukan hamper 30-50% dari populasi dalam kurun waktu 18-24 bulan. Pasien dengan severe hipertiroidisme dan goiter yang besar biasanya akan mengalami relaps apabila terapi diberhentikan. Oleh sebab itu, semua pasien harus dilakukan follow-up setidaknya 1 tahun setelah terapi atau seumur hidup (Harrison, 2004).
Efek samping yang biasanya dialami pasien dengan terapi obat anti-tiroid adalah kemerahan, utrikaria, demam dan atralgia. Hal ini dapat membaik secara spontan atau dengan menggantikan obat alternatif anti-tiroid yang lain. Propanolol dengan dosis 20-40mg tiap 6jam atau penghamat beta yang lebih panjang waktu kerjanya seperti atenolol dapat membantu dalam menagontrol efek adrenergic terutamanya pada tahap awal pemberian obat anti-tiroid (sebelum anti-tiroid dapat memberikan efek yang optimal). Pemberian obat anti-koagulasi harus dipikirkan pada pasien dengan atrial fibrilasi. Jika digoxin akan digunakan sebagai regimen yang dipilih, peningkatan dosis harus dilakukan pada kondisi tirotoksikosis (Harrison, 2004). Terapi pada pasien ini meliputi pemberian PTU 400 mg dalam jangka waktu tiap 8 jam dan propanolol 10 mg tiap 6 jam.
Krisis tiroid adalah tirotolsikosis yang amat membahayakan, meskipun jarang terjadi. Hampir semua kasus diawali oleh faktor pencetus. Pada kasus ini dijumpai acute lung infection dengan bayangan radiopak di basal paru dan diduga terjadi pneumania. Tidak satu indikator biokimiawi pun mampu meramalkan terjadinya krisis tiroid, sehingga tindakan kita didasarkan pada kecurigaan atas tanda-tanda krisis tiroid membakat, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas. Karena mortalitas amat tinggi, kecurigaan krisis saja cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Hingga kini patogenesisnya belum jelas : free -hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pascatranskripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Faktor resiko krisistiroid: surgical krisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medicalkrisis (stres apapun, fisik serta psikologik, infeksi dan sebagainya). Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad yaitu menghebatnya tanda tiroksitosis, kesadaran menurun, dan hipertermia. Apabila terdapat triad maka kita dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis tiroid dari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok yaitu hipertermia, takikardia dan disfungsi susunan saraf. Pada keadaan ini dijumpai acute lung infection dengan bayangan radiopak di basal paru. Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45 highly seggestive, 25-44suggestive of impeding storm, dibawah 25 kemungkinan kecil (Djokomoeljanto, 2010) .
Criteria diagnosis untuk krisis tiroid (Burch-Wartofsky, 1993)
Disfungsi pengaturan panas
Suhu oF 99-99.9
100-100.9
101-101.9
102-102.9
103-103.9
>104
Efek pada SSP
Tidak ada
Ringan (agitasi)
Sedang (delirium, psikosis, letargi berat)
Berat (koma, kejang)
Disfungsi gastrointestinal-hepar
Tidak ada
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut)
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)
5
10
15
20
25
30
0
10
20
30
0
10
20
Disfungsi kardiovaskular
Takikardi 99-109
110-119
120-129
130-139
>140
Gagal jantung
Tidak ada
Ringan (edema kaki)
Sedang (ronki basal)
Berat (edema paru)
Fibrilasi atrium
Tidak ada
Ada
Riwayat pencetus
Negative
Positive
5
10
15
20
25
0
5
10
15
0
10
0
10
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormone, menghambat pelepasan hormone dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid penyekat beta dan plasmaferesis),dan normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi factor pemicu. Pengobatan harus segera diberikan rawat diruangan dengan control yang baik (Sudoyo dkk, 2007).
Pengobatan yang diberikan antara lain adalah membaiki keadaaan umum dengan memberikan cairan NaCl 0.9% utuk koreksi elektrolit. Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat yaitu dengan a) memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (600-1000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg; b) memblok keluarnya bakal hormone dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau larutan kalium iodide jenuh 5 tetes setiap 6 jam. Jika ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak ada solusio Lugol/ larutan kalium iodide jenuh tidak memadai; c) menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat, penghambat beta dan/atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stess (100mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya adalah karena defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4. Untuk antipiretik digunakan asetaminofen, jangan aspirin karena akan melepas ikatan protein-hormon tiroid sehingga freehormon meningkat. Propanolol dapat mengurangi takikardia dan meghambart konversi T4 menjadi T3 di perifer dengan dosis 20-40 mg tiap 6 jam (Sudoyo dkk, 2007).
Pada pasien ini, khusus untuk mengatasi krisis hipertiroidnya, maka diberikan terapi O2 8-10lpm, IVFD sebanyak 500cc dengan meggunakan larutan NS 0.9% fluid challenge dan untuk selanjutnya tetap diberikan larutan NS 0.9% sebanyak 20tpm, posisi setengah duduk, dan solusio Lugol sebanyak 5 tetes.
Dan yang terakhir adalah mengobati factor pencetus misalnya infeksi (Sudoyo dkk, 2007). Memandangkan pada pasien ini telah terbukti bahwa menderita pneumonia CAP, maka pengobatannya berdasarkan diagnose pneumonia yaitu dengan memberikan antibiotik tetracylin 500mg tiap 8 jam, ambroxol 30mg tiap 8 jam dan dextroametrophan sebanyak 3 sendok makan tiap 8 jam juga.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia et bonam karena pada pasien dengan hipertiroid yang akhirnya menjadi krisis tiroid oleh karena adanya factor pencetus (pneumonia) belum lagi menimbulkan komplikasi seperti fiblirasi atrium, kelainan ventrikel atau paralisis (kapita selekta metabolic endokrin Jakarta, media Aesculapius FKUI 1991 ).
.
BAB 4
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1.         Berdasarkan tanda-tanda yang diperlihatkan pasien pada skenario kali ini, diagnosis yang paling tepat adalah hipertiroid. Tanda-tanda tersebut adalah berat badan turun, mudah terangsang, sering berdebar-debar, mata exopthalmus, TSHs turun, FT4 dan FT3 naik, point-point yang terdapat pada index waynes dan indeks new castle semuanya meningkat, pada ultrasonografi ditemukan kelenjar tiroid yang memadat dan adanya cystae.
2.       Hipertiroid adalah suatu keadaan yang abnormal pada kelenjar tyroid. Keabnormalan ini terjadi karena hiperfungsi kelenjar tiroid sehinga produksi dan sekresi hormone tiroid meningkat . hiperfungsi ini disebabkan oleh berbagai hal dan salah satunya adanya reaksi autoimun.
3.       Interaksi antar hormon tiroid dengan hormone lain mempengaruhi kerja kelenjar endokrin. Selain itu kerja yodium sendiri dalam tubuh juga dipengaruhi oleh zat gizi lainnya.
4.       Pada daerah defisisensi yodium atau endemik jarang terdapat hipertiroid tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terkena penyakit ini.
5.       Pemeriksaan yang mungkin dapat dilakukan untuk mendiagnosis kelainan pada kelenjar tiroid antara lain pemeriksaan palpasi, pemeriksaan kadar FT3, TSHs, dan FT4, serta perhitungan dengan index waynes dan indeks new castle. Untuk lebih memastikan dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau CT-scan.
6.       Terapi yang bisa dilakukan antara lain secara umum untuk pencegahan yaitu dengan cukup mengonsumsi yodium; menggunakan Obat Anti Tiroid (OAT) seperti propiltiourasil, tiourasil, dan metimazol; penghambat transfer ion iodide, seperti beta blocker; iodide; yodium radioaktif, dan pembedahan.
2.2 Saran
1. Selain menjaga pola hidup sehat pasien juga sebaiknya melakukan terapi penyembuhan secara teratur supaya efek samping yang berikan tidak terlalu besar.
2. Sebaiknya pasien tetap disarankan untuk melakukan salah satu terapi untuk penyembuhan. Mengenai biaya dapat disarankan untuk menggunakan kartu keluarg miskin yang diberikan pemerintah.
3. Terapi yang diberikan sebaiknya secara bertahap dan memiliki efek samping paling kecil yang disesuaikan dengan komplikasi yang mungkin timbul.
4. Memberikan penyuluhan semacam edukasi pada pasien dan keluarga mengenai pentingnya mengkonsumsi zat gizi secara seimbang terhadap kesehatan tubuh dan pola hidup sehat karena reaksi autoimun kemungkinan berasal dari keadaan yang kurang terjaganya pola hidup sehat dan pola konsumsi yang tidak seimbang


Artikel Terkait

0 comments

Post a Comment

Cancel Reply