BAB 1
LATAR BELAKANG
Hipertiroid ialah
suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone
tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di
masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika
sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering
ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah
hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip
berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan
sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis
dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari
kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan
kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan
prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus 2.5%)
(Djokomoeljanto, 2010).
Penyakit Graves
merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-90%), sedangkan yang
disebabkan karena tiroiditis mencapai 15% dan 5% karena toxic nodular goiter.
Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi terutama tergantung pada
intake yodium (tingginya intake yodium berhubungan dengan peningkatan prevalensi
penyakit Graves). Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita, namun hanya
sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun,
namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci,et al., 2008).
Hipertiroidisme sering
ditandai dengan produksi hormone T3 dan T4 yang meningkat, tetapi dalam
persentase kecil (kira-kira 5%) hanya T3 yang meningkat, disebut sebagai
tirotoksikosis T3 (banyak ditemukan di daerah dengan defisiensi yodium). Status
tiroid sebenarnya ditentukan oleh kecukuan sel atas hormon tiroid dan bukan
kadar ‘normal’ hormone tiroid dalam darah. Ada beberapa prinsip faali dasar
yang perlu diingat kembali. Pertama bahwa hormone yang aktif adalah free hormone, kedua bahwa metabolism sel didasarkan atas tersedianya
free T3 bukan free T4, ketiga bahwa distribusi deiodinase I, II, dan III di
berbagai organ tubuh berbeda (D1 banyak di hepar, ginjal dan tiroid, DII di
otak, hipofisis, dan DIII di jaringan fetal, otak, plasenta), namun hanya D1
yang dapat dihambat oleh PTU (Djokomoeljanto, 2010).
Tujuan dari pembuatan
responsi ini adalah memberikan suatu informasi baru tentang epidemiologi,
perjalanan penyakit, diagnosis,dan terapi yang dapat diberikan pada pasien
dengan hipertiroidisme. Responsi ini akan sangat berguna terutama kepada mahasiswa
kedokteran karena dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
hipertiroidisme. Di samping itu, responsi ini juga bertujuan membandingkan
kesesuaian diagnosis, terapi, dan prognosis pasien hipertroidisme antara
sumber-sumber ilmiah yang ada dengan kenyataan pada pasien.
BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang wanita usia 46
tahun datang dengan keluhan utama sesak napas yang dirasakan secara tiba-tiba
sekitar 4-5 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas diawali dengan batuk
sebelumnya. Sesak nafas dirasakan tidak membaik ketika beristirahat. Sebelumnya
tidak pernah merasakan hal yang sama. Kebiasaan tidur dengan satu buah bantal.
Selain itu pasien juga
merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada dada sebelah kanan ketika dibuat
bernafas, tidak menjalar dan dirasakan semakin memberat jika dibuat bernafas
atau berubah posisi.
Batuk dirasakan
sekitar 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuknya pada hari pertama tidak
mengeluarkan dahak. Pasien mengeluh demam kurang lebih 7hari sebelum dan selama
batuk. Dan satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengatakan bahwa ia
batuk dengan dahak berwarna putih dan ada sebercak darah yang keluar bersamaan
dengan dahaknya.
Pasien mengeluh sesak
napas sebelumnya tetapi tidak seberat yang dirasakannya saat ini. Sesak
napasnya dirasakan ketika pasien berjalan sekitar 200 meter, dan ketika pasien
berjalan ke ketinggian (seperti menaiki anak tangga). Pasien sering tidur
menggunakan 1 bantal. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari gara-gara
sesak.
Selain itu, pasien
juga sering merasa berdebar-debar tanpa didahului perasaan yang tidak enak atau
sebagainya. Pasien juga sering berkeringat walau tidak berada dibawah sinar
matahari maupun saat bekerja (saat beristirehat). Jika diminta untuk memilih
antara suhu panas dan dingi pasien lebih memilih suhu yang dingin kerna merasa
lebih nyaman. Pasien juga mengalami penurunan berat badan sedangkan nafsu makan
meningkat dan pasien sering merasakan perasaan mahu makan dan kelaparan. Celana
milik pasien dirasakan semakin longgar. Namun demikian sejak akhir-akhir ini
pasien tidak nafsu makan dan makan lebih sedikit.pasien juga sering merasa
lemas badan dan sedikit gemetar di daerah jari kedua tangan. Pasien juga
mengeluhkan merasa sangat mudah lelah walau hanya melakukan aktivitas yang
sangat sederhana dan ringan. Saat ini pasien sudah tidak menstruasi lagi.
Pasien bekerja sebagai
buruh tani dan tinggal di daerah pegunungan. Pasien memiliki kebiasaan memasak
menggunakan kayu bakar.
Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, sesak dan agitasi, GCS 456, berat
badan 45 kg dan tinggi badan 150 cm, suhu aksila 38c, BMI 19.5 kg/m2, tekanan
darah 160/80 mmHg, nadi 122x/menit reguler, kuat, pernafasan 30x/menit, susu
aksila 38ºc. Pada daerah leher didapatkan pembesaran kelenjar tiroid dengan
ukuran 3x2x5cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak menempel dengan
jaringan sekitar (dapat digerakan), dan tidak didapatkan pembesaran kelenjar
getah bening di sekitar benjolan. Selain itu, pada pasien ini juga didapatkan
tremor halus.
Dari pemeriksaan hasil
laboratorium didapatkan leukositosis (11,600), peningkatan Total T3(ng/mL2.56),
Free T4 (5.00ng/dL) dan penurunan hasil TSH (0.018µIU/mL). Berdasarkan EKG
didapatkan sinus Takikardia. Dari hasil USG tiroid didapatkan struma difusa
hipervaskular tiroid bilateral sesuai gambaran Grave`s Disease dan kalsifikasi
pole bawah Dextra manakala dari hasil patologi anatomi dapat disimpulkan tidak
ada sel ganas dan kemungkinan suatu colloid goiter dengan fibrosis.
Dari hasil kultur
sputum pada tanggal 22 September 2011 didapatkan bakteri kokus gram positif,
mikobakterium basil tahan asam negative, KOH negatif, dan kultur kuman
staphylococcus coagulase yang negative dengan uji sensitiitasf kuat terhadap
tetrasiklin, doxycycline, vancomycin dan amikacin.
Pasien kemudian di
rawat inap di RSSA selama 20 hari dari tanggal 18 September 2011 sampai dengan
7 Oktober 2011.
BAB 3
PEMBAHASAN
Hipertiroid ialah
suatu sindroma klinik yang terjadi karena pemaparan jaringan terhadap hormone
tiroid berlebihan. Penyakit tiroid merupakan penyakit yang banyak ditemui di
masyarakat, 5% pada pria dan 15% pada wanita. Penyakit Graves di Amerika
sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita dan 1.5-2.5/1000 pria, sering
ditemui di usia kurang dari 40 tahun (Djokomoeljanto, 2010).
Istilah
hipertiroidisme sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun secara prinsip
berbeda. Dengan hipertiroidisme dimaksudkan hiperfungsi kelenjar tiroid dan
sekresi berlebihan dari hormone tiroid dalam sirkulasi. Pada tirotoksikosis
dapat disebabkan oleh etiologi yang amat berbeda, bukan hanya yang berasal dari
kelenjar tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan
kasus dengan kadar hormone normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan
prevalensi lebih tinggi disbanding yang non Asia (12% versus 2.5%) (Djokomoeljanto,
2010).
Anamnesa pada pasien
dengan hipertiroidisme meliputi tanda dan gejala yang dirasakan pasien. Antara
gejala yang biasa dirasakan pasien adalah penurunan berat badan tanpa sebab
yang jelas, hal ini dikarenakan terjadinya penigkatan kadar metabolic dalam
badan. Hal ini terjadi meskipun pasien juga mengeluhkan bahwa nafsu makan
semakin meningkat. Walaubagaimanapun pada hamper 5% kasus, pasien turut
merasakan adanya peningkatan berat badan atas sebab nafsu makan yang meningkat
itu tadi (Harrison, 2004). Pada pasien ini didapatkan penurunan berat badan
yang tidak ada penyebabnya. Selain itu, jika diminta untuk memilih antara suhu
panas dan dingi pasien lebih memilih suhu yang dingin kerna merasa lebih
nyaman.
Kulit pada pasien
dengan hipertiroid juga sentiasa basah akibat keringat yang berlebihan dan
pasien merupakan orang yang tidak toleransi terhadap suhu tinggi. Peristaltic
lambung juga meningkat sehingga mengakibatkan terjadinya diare dan steatorrhea
yang ringan. Pada pasien wanita, sering juga dilaporkan kejadian oligomenorrhea
maupun amenorrhea, manakala pada laki-laki mungkin mengeluhkan hal seperti
penurunan fungsi seksual dan jarang sekali masalah gynecomastia (Harrison,
2004). Pada pasien ini didapatkan kulit yang sentiasa berkeringat walaupun
tidak berada di bawah cahaya matahari maupun saat beraktifitas dan telah
berhenti menstruasi pada usia yang lebih awal dari seharusnya.
Selain itu, pasien
juga akan mengeluhkan perasaan seperti palpitasi. Hal ini merupakan manifestasi
gangguan pada system kardiovaskuler atas akibat sinus takikardi
(supraventrikular takikaria). Cardiac output yang meningkat mengakibatkan
terjadinya nadi yang kuat, memanjang, dan aortic murmur dan dapat mengakibatkan
angina maupun gagal jantung yang sudah terdeteksi sebelumnya menjadi lebih
parah. Pada pasien ini didapatkan perasaan sentiasa berdebar-debar tanpa
didahului perasaan yang tidak enak atau lainnya (Harrison, 2004).
Manifestasi klinis
yang menonjol lain antaranya adalah hiperaktivitas, mudah lelah, kurang daya
tumpuan dan juga tremor. Tremor dapat dideteksi dengan mudah yaitu dengan
meminta pasien untuk menegangkan jari-jari tangan dan tremor dirasakan sendiri
oleh pemeriksa dengan telapak tanagan. Kelainan neurologic yang dapat menyertai
hipertiroidisme adalah hiperreflexia, atropi otot, miopati proximal tanpa
adanya fascikulasi. Hipokalemia juga turut menyertai masalah hipertiroidisme
yang dimanifestasikan dalam bentuk periodic paralisis dan biasanya terjadi pada
kebanyakkan priya asia. Pada pasien ini didapatkan tremor halus dan perasaan
mudah merasa lelah walaupun dengan aktivitas yang sangat sederhana dan ringan
(Harrison, 2004).
Selain itu dalam
menegakkan diagnosa hipertiroid, penggunaan Indeks Wayne mungkin dapat
digunakan. Indeks Wayne sendiri merupakan suatu checklist yang berisi ada atau
tidaknya gejala-gejala, seperti palpitasi, mudah lelah, berat badan turun, dan
lain-lain, dengan skor tersendiri untuk masing-masing gejala. Seorang pasien
didiagnosis menderita hipertiroid apabila skor Inseks Wayne lebih dari 19. Di
bawah ini telah dilampirkan Indeks Wayne (Harrison, 2004).
Wayne Index
|
Subjective
a) Dypsneu de effort 1
b) Palpitasi 1
c) Cepat lelah 2
d) Suka panas 0
e) Suka dingin 5
f) Banyak berkeringat
0
g) Nervous 2
h) Nafsu makan
meningkat/menurun 3
i) Berat badan
meningkat/menurun 3
Total score : 25
(hyperthyroid)
Pemeriksaan fisik
dalam menegakkan diagnose hipertiroid tidak hanya sekedar menilai kelenjar
tiroid, tetapi harus juga dicari tanda-tanda yang dapat muncul akibat kelainan
fungsi tiroid dan manifestasi extrathyroidal seperti adanya kelainan
opthalmopathy dan dermopathy (Harrison, 2004).
Pemeriksaan fisik
dapat dimulai dengan pemriksaan pada bagian kepala dan leher. Pmeriksaan
diawali dengan melakukan inspeksi pada kelenjar tiroid pada leher bagian depan
dan samping dengan posisi pasien duduk. Setiap bekas luka, massa, dan distensi
vena yang terlihat haruslah dicatat. Setelah itu, dilakukan palpasi pada
kelenjar tirod dengan meminta pasien untuk memfleksikan leher supaya otot di
leher agak menegndur kelenjar tiroid dapat dipalpasi dari hadapan pasien maupun
dari belakang pasien, dengan menggunakan kedua jempul untuk mengpalpasi lobus
pada kelenjar tiroid. Apabila nodul masih kecil adalah lebih baik seandainya kelenjar
tiroid di palpasi dari kedua arah. Saat melakukan palpasi, haruslah dimulai
dengan mencari kartilago krikoid terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan
meraba isthmus, dan agak ke lateral untuk meraba kedua again dari lobus
(biasanya lobus pada bagian dextra sedikit lebih besar berbanding lobus
sinistra). Lalu pasien diminta untuk menelan air, untuk menilai adakah kelenjar
tiroid akan ikut bergerak seiring dengan pergerakan menelan itu tadi (Harrison,
2004).
Antara hal yang harus
dicatat saat melakukan palpasi kelenjar tiroid adalah ukuran, konsistensi,
nodul, mobilitas dan fiksasi. Pada keadaan normal, biasanya ukuran tiroid dapat
mencapai 12-20g dan hasil dari palpasi dapat dipindahkan kedalam bentuk
gambaran secara kasar. Walaubagaimanapun, pemeriksaan USG menjadi pemeriksaan
yang harus dilakukan dalam memastikan ukuran kelenjar tiroid yang membesar
dengan lebih tepat. Auskultasi dilakukan dengan tujuan mencari adanya bunyi
bruit disekitar kelenjar tiroid yang membesar dan hal ini menunjukkan bahwa
adanya peningkatan vaskularisasi seperti yang terjadi pada kasus
hipertiroidisme. Apabila batas bawah lobus tiroid tidak dapat teraba dengan
jelas, pembesaran yang terjadi berada pada bagian retrosternal. Pembesaran
kelenjar tiroid pada bagian retrosternal dapat menyebabkan distensi vena
sehingga menyebabkan kesukaran bernafas, terutama apabila tangan di angkat ke
atas (Pemberton`s sign). Selain itu, massa apapun yang membesar diatas kelenjar
tiroid akan mengakibatkan lidah terangkat. Pemeriksaan limadenopati pada bagian
supraklavikular dan servikal di leher harus dilakukan juga. Dalam laporan kasus
didapatkan pembesaran kelenjar tiroid dengan ukuran 3x2x5cm, tidak nyeri,
permukaan rata, batas tegas, tidak menempel dengan jaringan sekitar (dapat
digerakan), dan tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di sekitar
benjolan (Harrison, 2004).
Oleh karenasifatTSH
yang sangat sensitive dan spesifik dalam rangka mendeteksi jumlahnya dalam
darah, maka TSH dapat digunakan sebagai marker dalam mendeteksi fungsi hormone
tiroid. Selain itu, kadar TSH juga berespon secara dinamik apabila adanya
perubahan terhadap kadar T4 dan T3. Oleh sebab itu, kadar TSH menjadi marker
utama dalam rangka menentukan nilai hormone tiroid yang berkurang, normal,
maupun meningkat (Harrison, 2004).
Penemuan tentang nilai
TSH yang abnormal haruslah diikuti dengan pengukuran nilai hormone tiroid dalam
darah bagi memastikan lagi diagnosis hipertiroidisme (TSH yang rendah) dan
hipotiroidisme (TSH yang tinggi). Pemeriksaan dengan menggunakan
radioimmunoassay dapat dilakukan bagi mendeteksi kadar T3 dan T4 darah. T3 dan
T4 berikatan dengan protein dan terdapat banyak factor yang dapat mempengaruhi
kadar hormone tersebut (penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit tertentu
serta factor genetik). Oleh itu, adalah perlu untuk mengukur nilai hormone
tersebut dalam kondisi bebas atau tanpa terikat oleh protein (Harrison, 2004).
Kadar hormone tiroid
dapat meningkat apabila kadar TBG meningkat terutama dalam kondisi kadar
estrogen yang meningkat(kehamilan, kontraseptif oral, terapi hormone
replacement, tamoxifen). Juga, dapat berkurang dalam kondisi seperti androgen
tinggi dan sindroma nefrotik. Masalah genetic dan acute illness juga dapat
mempengaruhi kadar hormone tiroid yang berikatan dengan protein dalam darah.
Oleh karena hanya hormone tiroid yang bebas berikatan terdeteksi normal dalam
kondisi-kondisi seperti diatas, adalah disarankan untuk melakukan pemeriksaan
hormone tiroid bebas berikatan dalam rangka menilai kadar hormone tiroid. Pada
pasien ini, didapatkan peningkatan Total T3(ng/mL2.56), Free T4 (5.00ng/dL) dan
penurunan hasil TSH (0.018µIU/mL) (Harrison, 2004).
Pemeriksaan
ultrasonografi dilakukan dalam rangka tujuan membantu dalam penegakan diagnosis
penyakit tiroid noduler, sebagai akibat melengkapi kekurangan pada pemeriksaan
fisik dan memperbaiki tehnologi ultrasonografi. Dengan menggunakan instrument
10MHz, resolusi yang optimum serta qualitas foto yang baik, nodul dan kista
yang berukuran 3mm dapat dideteksi oleh USG tersebut. Selain sebagai alat
mendeteksi nodule, USG juga dapat digunakan sebagai alat bagi memonitor
perkembangan ukuran nodule, mengarah biopsy FNAB, serta membantu dalam
melakukan aspirasi lesi kistik. USG juga dapat membantu dalam mengevaluasi
adnya rekuren dari kanker tiroid, termasuk derajat metastases sel-sel ganas
melalui kelenjar getah bening di servikal (Harrison, 2004). Pada pasien ini
telah dilakukan pemeriksaan USG Tiroid didapatkan struma difusa hipervaskular
tiroid bilateral sesuai gambaran Grave`s Disease dan kalsifikasi pole bawah
Dextra.
Hipertiroidisme
diterapi dengan prinsip utama yaiutu menurunkan kadar sintesis hormone tiroid,
dengan menggunakan obat anti-tiroid, radioiodine, atau dengan tehnik operasi
kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid banyak di gunakan di Negara seperti Eropah
dan Jepang, manakala radioiodine banyak digunakan di Negara amerika selatan.
Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang dapat mengatasi
hipertiroid secara optimal dan pasien mugkin memerlikan multiple terapi dalam
mencapai remisi (Harrison, 2004).
Obat anti-tiroid yang
sering digunakan adalah dari golongan thionamides, seperti prophylthiouracil
(PTU), carbimazole, dan methimazole yang merupakansejenis metabolit yang aktif.
Obat-obat tersebut bekerja dengan menghambat fungsi TPO, megurangi oksidasi dan
organifikasi iodida. Obat-obat ini juga derajat aktifitas tiroid dengan
mekanisme yang masih belum jelas namun dapat meningkatkan kadar remisi. PTU
bekerja dengan menghambat deiodinasi T3 dan T4. Walaubagaimnapun, efek obat
tersebut hanya memberikan keuntungan yang kecil sekali, melainkan pada kasus
seperti tiroitoksikosis, dimana PTU mempunyai paruh hidup yang sangat singkat
(90menit) berbanding metrhimazole (6jam) (Harrison, 2004).
Terdapat banyak
variasi obat anti-tiroid. Dosis inisial carbimazole atau methimazole biasanya
antara 10-20 mg tiap 8- 12 jam, dan setelah mencapai kadar eutiroid, obat dapat
diambil dalam kurun waktu tiap 24jam sekali makan. PTU diberikan dengan dosis
100-200mg tiap 6-8jam, dan dilakukan tapering off pada setiap pemberian terapi
PTU. Dosis inisial dapat dikurangi apabila hipertiroidisme terbukti berkurang.
Obat dengan dosis yang sangat tinggi harus dikombinasikan dengan levotiroxin
bagi menghindari terjadinya hipotiroidisme kerna pemberian obat (Harrison,
2004).
Fungsi tiroid dan
manifestasi klinis harus diperiksa setelah 3-4 minggu pemberian obat dan dosis
awala dilakukan titrasi berdasarkan kadar unbound T4. Kebanyakan pasien tidak
mencapai eutiroid setelah 6-8minggu pemberian obat anti tiroid. Kadar TSH masih
berkurang dalam jangka waktu beberapa bulan dan oleh karena itu, tidak
menunjukan index terapi yang memuaskan. Biasanya, titrasi yang dilakukan pada
obat anti-tiroid adalah sebanyak 2.5-10mg (carbimazole atau methimazole) dan
50-1oomg (PTU). Kadar remisi yang maximal ditemukan hamper 30-50% dari populasi
dalam kurun waktu 18-24 bulan. Pasien dengan severe hipertiroidisme dan goiter
yang besar biasanya akan mengalami relaps apabila terapi diberhentikan. Oleh
sebab itu, semua pasien harus dilakukan follow-up setidaknya 1 tahun setelah
terapi atau seumur hidup (Harrison, 2004).
Efek samping yang
biasanya dialami pasien dengan terapi obat anti-tiroid adalah kemerahan,
utrikaria, demam dan atralgia. Hal ini dapat membaik secara spontan atau dengan
menggantikan obat alternatif anti-tiroid yang lain. Propanolol dengan dosis
20-40mg tiap 6jam atau penghamat beta yang lebih panjang waktu kerjanya seperti
atenolol dapat membantu dalam menagontrol efek adrenergic terutamanya pada
tahap awal pemberian obat anti-tiroid (sebelum anti-tiroid dapat memberikan
efek yang optimal). Pemberian obat anti-koagulasi harus dipikirkan pada pasien
dengan atrial fibrilasi. Jika digoxin akan digunakan sebagai regimen yang
dipilih, peningkatan dosis harus dilakukan pada kondisi tirotoksikosis
(Harrison, 2004). Terapi pada pasien ini meliputi pemberian PTU 400 mg dalam
jangka waktu tiap 8 jam dan propanolol 10 mg tiap 6 jam.
Krisis tiroid adalah
tirotolsikosis yang amat membahayakan, meskipun jarang terjadi. Hampir semua
kasus diawali oleh faktor pencetus. Pada kasus ini dijumpai acute lung
infection dengan bayangan radiopak di basal paru dan diduga terjadi pneumania.
Tidak satu indikator biokimiawi pun mampu meramalkan terjadinya krisis tiroid,
sehingga tindakan kita didasarkan pada kecurigaan atas tanda-tanda krisis
tiroid membakat, dengan kelainan yang khas maupun yang tidak khas. Karena
mortalitas amat tinggi, kecurigaan krisis saja cukup menjadi dasar mengadakan
tindakan agresif. Hingga kini patogenesisnya belum jelas : free -hormon
meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 pascatranskripsi, meningkatnya
kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Faktor resiko krisistiroid: surgical
krisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medicalkrisis
(stres apapun, fisik serta psikologik, infeksi dan sebagainya). Kecurigaan akan
terjadi krisis apabila terdapat triad yaitu menghebatnya tanda tiroksitosis,
kesadaran menurun, dan hipertermia. Apabila terdapat triad maka kita dapat
meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis tiroid dari Burch-Wartosky.
Skor menekankan 3 gejala pokok yaitu hipertermia, takikardia dan disfungsi
susunan saraf. Pada keadaan ini dijumpai acute lung infection dengan bayangan
radiopak di basal paru. Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45
highly seggestive, 25-44suggestive of impeding storm, dibawah 25 kemungkinan
kecil (Djokomoeljanto, 2010) .
Criteria diagnosis
untuk krisis tiroid (Burch-Wartofsky, 1993)
Disfungsi pengaturan
panas
Suhu oF 99-99.9
100-100.9
101-101.9
102-102.9
103-103.9
>104
Efek pada SSP
Tidak ada
Ringan (agitasi)
Sedang (delirium,
psikosis, letargi berat)
Berat (koma, kejang)
Disfungsi
gastrointestinal-hepar
Tidak ada
Ringan (diare,
nausea/muntah/nyeri perut)
Berat (ikterus tanpa
sebab yang jelas)
|
5
10
15
20
25
30
0
10
20
30
0
10
20
|
Disfungsi
kardiovaskular
Takikardi 99-109
110-119
120-129
130-139
>140
Gagal jantung
Tidak ada
Ringan (edema kaki)
Sedang (ronki basal)
Berat (edema paru)
Fibrilasi atrium
Tidak ada
Ada
Riwayat pencetus
Negative
Positive
|
5
10
15
20
25
0
5
10
15
0
10
0
10
|
Pengobatan krisis
tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormone, menghambat pelepasan hormone dan menghambat konversi T4 menjadi T3,
pemberian kortikosteroid penyekat beta dan plasmaferesis),dan normalisasi
dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi
factor pemicu. Pengobatan harus segera diberikan rawat diruangan dengan control
yang baik (Sudoyo dkk, 2007).
Pengobatan yang
diberikan antara lain adalah membaiki keadaaan umum dengan memberikan cairan
NaCl 0.9% utuk koreksi elektrolit. Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat
yaitu dengan a) memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (600-1000 mg)
diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg; b)
memblok keluarnya bakal hormone dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8 jam)
atau larutan kalium iodide jenuh 5 tetes setiap 6 jam. Jika ada, berikan
endoyodin (NaI) IV, kalau tidak ada solusio Lugol/ larutan kalium iodide jenuh
tidak memadai; c) menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan
propanolol, ipodat, penghambat beta dan/atau kortikosteroid. Pemberian
hidrokortison dosis stess (100mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam).
Rasional pemberiannya adalah karena defisiensi steroid relative akibat
hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4. Untuk antipiretik
digunakan asetaminofen, jangan aspirin karena akan melepas ikatan
protein-hormon tiroid sehingga freehormon meningkat. Propanolol dapat
mengurangi takikardia dan meghambart konversi T4 menjadi T3 di perifer dengan
dosis 20-40 mg tiap 6 jam (Sudoyo dkk, 2007).
Pada pasien ini,
khusus untuk mengatasi krisis hipertiroidnya, maka diberikan terapi O2 8-10lpm,
IVFD sebanyak 500cc dengan meggunakan larutan NS 0.9% fluid challenge dan untuk
selanjutnya tetap diberikan larutan NS 0.9% sebanyak 20tpm, posisi setengah
duduk, dan solusio Lugol sebanyak 5 tetes.
Dan yang terakhir
adalah mengobati factor pencetus misalnya infeksi (Sudoyo dkk, 2007).
Memandangkan pada pasien ini telah terbukti bahwa menderita pneumonia CAP, maka
pengobatannya berdasarkan diagnose pneumonia yaitu dengan memberikan antibiotik
tetracylin 500mg tiap 8 jam, ambroxol 30mg tiap 8 jam dan dextroametrophan
sebanyak 3 sendok makan tiap 8 jam juga.
Prognosis pada pasien
ini adalah dubia et bonam karena pada pasien dengan hipertiroid yang akhirnya
menjadi krisis tiroid oleh karena adanya factor pencetus (pneumonia) belum lagi
menimbulkan komplikasi seperti fiblirasi atrium, kelainan ventrikel atau
paralisis (kapita selekta metabolic endokrin Jakarta, media Aesculapius FKUI
1991 ).
.
BAB 4
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1.
Berdasarkan
tanda-tanda yang diperlihatkan pasien pada skenario kali ini, diagnosis yang
paling tepat adalah hipertiroid. Tanda-tanda tersebut adalah berat badan turun,
mudah terangsang, sering berdebar-debar, mata exopthalmus, TSHs turun, FT4 dan
FT3 naik, point-point yang terdapat pada index waynes dan indeks new castle
semuanya meningkat, pada ultrasonografi ditemukan kelenjar tiroid yang memadat
dan adanya cystae.
2.
Hipertiroid adalah
suatu keadaan yang abnormal pada kelenjar tyroid. Keabnormalan ini terjadi
karena hiperfungsi kelenjar tiroid sehinga produksi dan sekresi hormone tiroid
meningkat . hiperfungsi ini disebabkan oleh berbagai hal dan salah satunya
adanya reaksi autoimun.
3.
Interaksi antar hormon
tiroid dengan hormone lain mempengaruhi kerja kelenjar endokrin. Selain itu
kerja yodium sendiri dalam tubuh juga dipengaruhi oleh zat gizi lainnya.
4.
Pada daerah
defisisensi yodium atau endemik jarang terdapat hipertiroid tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk terkena penyakit ini.
5.
Pemeriksaan yang
mungkin dapat dilakukan untuk mendiagnosis kelainan pada kelenjar tiroid antara
lain pemeriksaan palpasi, pemeriksaan kadar FT3, TSHs, dan FT4, serta
perhitungan dengan index waynes dan indeks new castle. Untuk lebih memastikan
dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau CT-scan.
6.
Terapi yang bisa
dilakukan antara lain secara umum untuk pencegahan yaitu dengan cukup
mengonsumsi yodium; menggunakan Obat Anti Tiroid (OAT) seperti propiltiourasil,
tiourasil, dan metimazol; penghambat transfer ion iodide, seperti beta blocker;
iodide; yodium radioaktif, dan pembedahan.
2.2 Saran
1. Selain menjaga pola
hidup sehat pasien juga sebaiknya melakukan terapi penyembuhan secara teratur supaya
efek samping yang berikan tidak terlalu besar.
2. Sebaiknya pasien
tetap disarankan untuk melakukan salah satu terapi untuk penyembuhan. Mengenai
biaya dapat disarankan untuk menggunakan kartu keluarg miskin yang diberikan
pemerintah.
3. Terapi yang
diberikan sebaiknya secara bertahap dan memiliki efek samping paling kecil yang
disesuaikan dengan komplikasi yang mungkin timbul.
4. Memberikan
penyuluhan semacam edukasi pada pasien dan keluarga mengenai pentingnya
mengkonsumsi zat gizi secara seimbang terhadap kesehatan tubuh dan pola hidup
sehat karena reaksi autoimun kemungkinan berasal dari keadaan yang kurang
terjaganya pola hidup sehat dan pola konsumsi yang tidak seimbang
0 comments
Post a Comment