Metode DiagnostikDemam Tifoid Pada Anak
ABSTRAK
Demam tifoid masih
merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Gambaran klinis
demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam
penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji
serologis dan identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru
untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih
kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode
diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara
berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji
TUBEXâ, Typhidot-Mâ dan
dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu
penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih
dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai
gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena
di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
METODE DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku
kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).
B. PEMERIKSAAN
LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu :
(1) pemeriksaan darah
tepi
(2) pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
(3) uji serologis, dan
(4) pemeriksaan kuman
secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH
TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa
didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin
didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai
sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh
Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan
darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan
leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN
MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi
- jumlah darah yang diambil
- perbandingan volume darah dari
media empedu; dan
- waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL
dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.
Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1
mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan
terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini
dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap
Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit.
Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio
darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat
dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara
perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang
merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan
hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.
Kegagalan dalam
isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya
penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun
spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah
dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak
tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3. IDENTIFIKASI KUMAN
MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi
antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen
itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis
yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
- uji Widal
- tes TUBEX®
- metode enzyme immunoassay (EIA)
- metode enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), dan
- pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan
serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses
diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh
karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan
dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini
dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung
(tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak
oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar
34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus
demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji
Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen;
teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal
yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan
dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo
Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%
penderita.
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi
kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian
yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%
dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini
didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap
antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam
tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh
Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji
ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif
sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian
oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji
sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak
mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan
dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan
metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan
kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat
yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA
terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel
urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
3.5 PEMERIKSAAN
DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh
Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada
penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat
dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.
4. IDENTIFIKASI KUMAN
SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk
identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat)
gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian
0 comments
Post a Comment